Monday, January 18, 2010

My Biography - Part I


"Saat saya merapikan file-file di komputer, saya menemukan file ini. Sebuah tugas untuk membuat biografi diri kita saat saya di SMA. Ketika saya baca ulang, saya ketawa-ketawa melihat isinya. Ya ampun, lucu banget. ternyata saya bisa menulis seperti ini. 


Untuk membagi keceriaan saya, saya post tulisan saya ini. Karena tulisannya banyak, saya bagi ke dalam beberapa part. Ini adalah part pertama nya,
Enjoy everyone.. x)"




The Beginning..

Pada tanggal 22 Oktober 1990, di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, seorang bayi perempuan dilahirkan ke dunia ini dari rahim seorang ibu bernama Retno Rukmini. Bayi perempuan itu merupakan anak kedua dari pasangan Johansyah S. Arifin dan Retno Rukmini.

Namanya disesuaikan dengan urutannya sebagai anak kedua dalam keluarga, Dwina Arini Fikrianti. Dwina dirangkai dari kata ‘dwi’ yang berarti dua, dan ada kata tambahan ‘na’ yang sampai sekarang masih dipertanyakan artinya. Sedangkan Arini juga rangkaian kata. ‘ari’ adalah nama kakak si bayi perempuan, ‘ni’ hanyalah kata tambahan agar nama itu menjadi menarik. Sedangkan Fikrianti mempunyai arti ‘berpikir’ dan lagi-lagi kata ‘anti’ hanya merupakan pelengkap nama saja. Bayi perempuan itu adalah saya. Ya, saya.

Ketika saya mendapatkan tugas untuk membuat biografi saya sendiri, jujur saya bingung memulai darimana. Untuk langkah yang baik, saya memutuskan untuk menceritakan apa yang saya tahu dulu.

Maka inilah hal-hal tentang diri saya yang saya ketahui.

Sejak dilahirkan, saya mempunyai keunikan tersendiri dari saudara-saudara saya yang lain. Saya mempunyai kulit yang lebih berwarna dibandingkan dengan kakak saya yang ketika saya lahir baru berumur satu tahun.

Lebih tepatnya, kulit saya lebih gelap dibandingkan kulit kakak saya yang cenderung agak transparan, yah, tidak transparan juga sih. Saya hanya terlalu iri untuk menuliskan kulit kakak saya putih bersih.

Tapi ini fakta. Saya anak perempuan satu-satunya dalam keluarga, tapi kulit saya hitam, yah, bukan hitam legam juga, coklat gelap, begitu saya suka menyebut kulit saya sewaktu kecil.

Jika dibandingkan dengan kakak atau adik-adik saya, yang kulitnya putih bersih dan merata sampai ke bagian dalam, saya adalah kebalikannya. Kulit coklat gelap saya sangat merata sampai ke bagian dalam. Oke, itu terlalu mengekspos diri saya. Sudah cukup pembahasan tentang kulit saya.

Kata Mama, ketika hamil saya, Mama jarang minum air kelapa muda yang katanya berkhasiat membuat kulit bayi menjadi putih bersih, sedangkan ketika hamil Ari, kakak saya, Mama selalu meminumnya setiap hari. Mungkin itulah yang membuat mengapa kulit saya menjadi agak coklat.

Oke, coklat gelap.

Tetapi ada faktor lain juga yang mungkin menjadi salah satu penyebab perbedaan warna kulit saya dengan saudara-saudara saya yang lain, yaitu faktor keturunan. Mama saya suatu kali menunjukkan foto beliau ketika masih kecil seumuran saya.

Saat itu saya sudah mencapai puncak frustasi saya tentang kulit saya yang agak coklat (baca:coklat gelap).

Ketika Mama menunjukkan selembar foto keluarga besarnya, mata saya menangkap ada gambar diri saya dalam foto itu. Anak perempuan dengan rambut sebahu, tubuh agak gemuk, dan dengan kulit coklat sawo matang.

Walaupun saya masih kecil, saya sudah bisa berpikir cerdas, “Kok saya bisa ada di foto ini? Kapan saya difoto sama orang-orang ini?” (hehe)

Saya pun heran. Lalu Mama saya menjelaskan, bahwa waktu kecil pun Mama berkulit coklat. Tetapi dengan sendirinya, ketika beranjak dewasa, kulitnya berubah putih. Didukung dengan Mama yang rajin merawat kulit.

Maka saya pun menjadi optimis bahwa saya juga bisa menjadi putih. Maklum, saat itu iklan-iklan di TV sudah semarak menyajikan potret wanita cantik masa kini adalah yang berkulit putih, rambut panjang dan lurus, badan ramping.
Sejak itu, saya terobsesi untuk menjadi putih. Nggak terobsesi banget sih. Yah, masih dalam batas kewajaran lah. Setidaknya selama saya hidup, alhamdulillah belum pernah operasi plastik supaya putih.

Mama juga bercerita bahwa ketika saya lahir, saya merupakan anak yang subur. Berat saya 49 gram ketika lahir. Seiring pertumbuhan saya, berat saya pun bertambah.

Tapi menurut orang-orang, saya gendut banget. Pokoknya saya kebalikan dari kakak saya banget. Kakak saya kecil, putih, bersih. Saya gendut, item, yahh, tidak usah dilanjutkan lah. Sehingga banyak orang yang bilang kalau saya seharusnya jadi anak cowok, sedangkan Ari jadi anak cewek. Karena Ari putih sekali.

Saya agak tersinggung juga sih saat mendengarnya. Untung Mama selalu membesarkan hati saya. Tapi tetap saja, Mama dan Papa punya panggilan khusus untuk saya, yaitu ‘dutkeredut’. Hal ini disebabkan oleh saya yang suka berguman sendiri ‘dutkeredut, dutkeredut’ dan bodohnya, gumaman saya itu pas sekali dengan porsi badan saya yang ‘ndut, sehingga Papa mengabadikan gumaman saya menjadi nama panggilan saya di rumah. 

Oh iya, satu hal lagi, Mama juga sering bilang, waktu saya kecil, kalau berjalan, saya tidak bisa merapatkan tangan di kedua sisi badan saya karena saking gendutnya saya, sehingga tangan saya selalu berayun ketika saya jalan. Ya ampun...

Tetap saja, kulit saya lah yang paling membuat saya frustasi. Badan saya gendut tidak terlalu masalah bagi saya, karena anak kecil yang gendut justru lucu, walaupun waktu kecil saya tidak menyadari fakta ini. Tapi kulit saya ini lho, saya merasa minder kalau berhadapan dengan sepupu-sepupu saya. Saya yang paling dekil, paling...ughh!

Bisa dilihat buktinya pada foto-foto yang ada.

Wina vs tidur siang 
           
Masa-masa sebelum masuk sekolah, saya sangat suka bermain di luar rumah. Saya suka main sepeda, main lari-larian. Yah, layaknya anak kecil yang normal. Saya paling tidak suka kalau disuruh tidur siang.

Mama dan Papa bekerja sampai malam. Jadi yang mengurus saya dan kakak saya adalah asisten rumah tangga saya waktu itu, Mbak Yati. Saya lebih mengenal Mbak Yati daripada Mama saya sendiri. Sehingga orang-orang suka meledek saya, bahwa saya ini anaknya Mbak Yati. Didukung dengan kulit saya yang.. yang itulah.

Kembali ke memori masa kecil saya. Saya paling bandel kalau disuruh tidur siang, saya pasti menemukan saja alasan saya untuk tidak tidur siang. Harus minum dulu, pipis dulu, makan dulu, beresin mainan dulu, atau menyiram tanaman dulu. Segudang alasan saya buat untuk menghindar dari tidur siang. Tetapi pada akhirnya, pasti saya tidur siang juga. Kalah perang.

Pernah suatu kali, Mama mau pergi keluar. Saya tidak mau Mama pergi, karena saya jarang bersama Mama pada siang hari. Kebetulan, hari itu hari libur nasional, sehingga Mama tidak bekerja. Saya tidak ingat Papa kemana.

Yang saya ingat, saya menangis meraung-raung ketika Mama sedang bersiap-siap mau pergi. Mama pun tidak jadi pergi. Kemudian saya disuruh tidur siang oleh Mama. Saya pun tidur siang, di nina-bobo-kan oleh Mama. Saya pun tertidur. Ketika saya baru mulai terlelap, Mama pergi. Tapi, saya adalah anak yang hebat. Ketika Mama sedang membuka pintu kamar saya, saya langsung terbangun lagi dan langsung menangis lagi ketika mengetahui Mama akan pergi. Saya pun ditidurkan lagi oleh Mama. Ketika saya sudah tidur lagi, Mama pun pergi. Tetapi saya terbangun lagi ketika saya dengar Mama membuka pintu pagar. Saya bisa mendengar pintu pagar yang dibuka dari kamar saya.

Kenapa saya ingat akan hal ini? Saya juga tidak tahu.
Saya mengingat jelas sekali memori ini. Saat saya menuliskan hal ini, seakan saya kembali pada masa itu.

Ketika saya menangis meraung-raung saat saya melihat Mama dandan mau pergi, ketika saya mendengar pintu pagar dibuka dan saya pun keluar kamar untuk mencegah Mama keluar rumah.

Bahkan saya pun ingat suara pintu pagar yang dibuka itu. Saya juga ingat suara kesal Mama ketika melihat saya bangun lagi.

Akhirnya Mama kembali menidurkan saya. Tetapi kali ini, Mama mengunci pintu kamar saya dari luar. Sehingga saya, yang kemudian terbangun lagi, hanya bisa melihat Mama saya pergi dari jendela kamar saya yang menghadap ke jalan dan menangis keras dan lama.

Saya pun akhirnya tertidur karena kecapekan menangis.

Wina si penyayang binatang

Saya ingat, waktu kecil, saya ini termasuk penyayang binatang. Saya suka memelihara ikan. Saya suka bermain dengan berbagai binatang, seperti kucing, anjing, burung, kelinci, banyak deh.

Tetapi karena saya punya penyakit asma, saya tidak diperbolehkan oleh Mama untuk dekat-dekat binatang berbulu. Sehingga, sampai sekarang, saya takut sama binatang, terutama kucing dan anak ayam.

Kenapa saya takut sama kucing? Tadinya, saya penggemar kucing, saya ingin memelihara kucing. Tapi tidak dibolehkan oleh Mama. Dan ketika saya sedang bermain dengan kucing liar di depan rumah, kucing itu mencakar saya. Tangan saya tergores panjang akibat cakaran kucing kampung itu.

Sejak itu, saya tidak suka dengan kucing, takut dekat-dekat dengan kucing. Mama juga menjauhkan saya dengan kucing sejak itu.
Saya juga takut dengan anak ayam. Karena pada waktu saya berumur 6 tahun, saya dan Ari membeli seekor anak ayam untuk dipelihara. Ketika di rumah, saya dan Ari membuat kandang untuk anak ayam itu dari kardus.

Anak ayam pun bahagia dengan rumah barunya. Anak ayam itu berciap-ciap terus sepanjang hari. Saya selalu rajin memberi makan anak ayam itu.

Tetapi suatu hari, ketika saya baru pulang sekolah, suara ciap-ciap anak ayam itu tidak ada.

Saya pun bertanya pada Mbak Yani, asisten rumah tangga saya ketika itu (Mbak Yati sudah berhenti bekerja karena sudah menikah), dimana anak ayam saya. Mbak Yani juga baru sadar suara anak ayam hilang. Maka, saya, Ari dan Mbak Yani mencari-cari anak ayam itu.

Saya mencari di sekitar taman rumah saya. Ketika saya berjalan di tengah-tengah bunga-bunga taman, saya melihat anak ayam itu. Tetapi kondisinya tragis sekali. Saya tidak sanggup menulisnya, sekarang pun tangan saya gemetar mengingat kejadian waktu itu.

Ternyata anak ayam itu keluar dari kandangnya. Dan kemudian ia tertangkap oleh kucing liar yang lapar. Ketika saya menemukannya, saya menemukan anak ayam itu sedang bersama kucing liar itu.

Saya pun langsung tahu kucing itu lah yang membunuh anak ayam saya. Anak ayam saya sudah mati. Kucing liar itu yang membunuhnya. Saya langsung teriak begitu melihat anak ayam itu. Mbak Yani pun langsung meghampiri saya. Saya benci sekali melihat kucing itu. Saya lempar penyiram tanaman yang ada di dekat saya waktu itu ke arah kucing liar itu. Kucing itu pun lari.

Anak ayam saya ditinggal. Saya pun menangis.

Tapi saya tidak berani mendekat untuk mengambil anak ayam itu. Ari pun ikut menangis ketika melihat anak ayam itu. Kami berdua tidak berani mendekati anak ayam yang sudah mati itu. Mbak Yani pun mengambil anak ayam itu dengan bantuan sekop tanaman. Dibantu oleh tetangga kami, Papa Adit, begitu saya memanggil om tetangga sebelah rumah kami, anak ayam itu dikubur.

Saya pun menangis terus hari itu. Bu De dan kakak sepupu saya datang ke rumah hari itu. Kebetulan rumah mereka memang dekat dengan rumah kami. Bu De saya menenangkan saya dan Ari yang tidak berhenti menangis. Kakak sepupu saya, yang berbeda umur tiga tahun dengan saya, hanya menonton kami menangis.

Saya dan Ari pun tertidur setelah capek menangis. Inilah peristiwa yang membuat saya takut dengan anak ayam. Saya tidak berani lagi memelihara binatang, apalagi anak ayam. Saya juga jadi membenci kucing sejak itu. Khususnya kucing liar.

Saya tidak pernah menceritakan hal ini sebelumnya kepada siapapun. Selama ini, teman-teman saya hanya tahu saya tidak suka dengan kucing karena faktor penyakit asma saya. Saya sendiri pun baru mengingat hal ini ketika saya melihat anak ayam tadi pagi.

No comments:

Post a Comment

tinggalkan jejak kalian disini..